21 Mei 2009

AKU (CINTA) INDONESIA…

Hari itu, di salah satu taman bermain, di negeri yang amat kucintai, aku bersama Reni -sahabatku- tengah asyik membangun istana dari pasir. Bagiku, itu adalah satu-satunya permainan yang bisa aku mainkan bersama satu-satunya sahabatku pula! Satu-satunya? Ya, hanya Reni yang mau menjadi sahabatku.

Lagipula, siapa orangnya yang mau bermain denganku? Seorang anak keturunan tionghoa. Darah yang mengalir dalam tubuhku ini saja tak seratus persen darah Indonesia. Seringkali juga aku menyesali keadaan ini. Mengapa Tuhan tak pernah melahirkanku dari ayah atau ibu orang Indonesia saja? Mengapa pula seakan-akan orang Indonesia menjauhiku dan enggan bermain bola denganku? Padahal mungkin saja aku bisa membawa merah putih ke Piala Dunia.

Tapi sudahlah! Tak ada gunanya menyesali yang terjadi. Yang penting istana pasir yang kami bangun telah selesai. Kami pun berdiri. Mengamatinya sejenak. Dan kami berkesimpulan, bahwa istana pasir yang kami buat sekarang ini adalah istana pasir yang paling indah diantara istana pasir yang telah kami buat.

Reni tampak ceria. Begitupula denganku. Tapi keceriaan itu tak berlangsung lama. Sebuah bola merubuhkan istana pasir yang kami bangun dengan susah payah tersebut. Siapa lagi yang menendang, kalau bukan mereka. Mereka yang tak mau bermain bola denganku. Mereka juga anak-anak yang tak mengerti akan tata cara bermain bola yang baik dan benar! Kalau tahu mereka tak akan menendang bola itu ke istana pasir kami. Mengapa tidak ke gawang?

"Reni, ngapain kamu maen sama dia?" teriak Aji.

"Yah, dia itu anak tionghoa. Dia gak seratus persen Indonesia!" kini Dani yang berkata. Dan perkataan itulah yang membuatku meneteskan air mata, sembari bertanya, apa begini sikap orang Indonesia? Mengapa orang Indonesia suka mempermasalahkan perbedaan dan juga mendiskriminasikan orang-orang minoritas? Padahal aku ini mencitai Indonesia dengan sepenuh hati. Dan Indonesia pun seolah sudah terpatri dalam darahku yang menurut mereka tak seratus persen Indonesia!

"Sudahlah..." ucap Reni pelan sambil mengusap pipiku yang mulai basah. Reni pun mendekati anak-anak itu. Dan dari tempatku meneteskan air mata aku dapat mendengar perkataan Reni dengan jelas.

"Kalian ini kenapa sih? Dia itu sama kayak kita! Sama-sama mencintai Indonesia! Dan bukannya kalian udah diterangin kalau ideologi negara kita ngajarin kita buat gak ngemasalahin perbedaan? Malahan aku ragu kalau kalian ini anak Indonesia yang tak mencintai negaranya sendiri".

Tak ada yang berani berkata.Malahan anak-anak itu lari terbirit-birit karena tak tahan mendengar omongan Reni yang membuat telinga mereka panas. Reni pun kembali padaku. Tersenyum manis sambil mengajakku membangun kembali istana pasir yang jauh lebih indah dari tadi. Dia begitu baik. Dia juga mengajariku tentang arti hidup. Dan dia jugalah yang membawaku pada titik yang terjadi kini.

Kini, aku dan Reni telah menikah. Kami pun dikaruniai seorang anak laki-laki yang amat tampan.Semuanya telah berubah. Tak ada lagi yang menghinaku juga anakku. Aji dan Dani yang dulu sering mengejekku pun kini duduk bersamaku dan Reni, menyaksikan anak kami bermain bola bersama dengan ceria. Bahu membahu membangun negeri yang sangat kami cintai.

Aji dan Dani pun sejak saat itu telah sadar bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Toh, semboyan yang tertulis di lambang negara juga tertulis, Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu jua!***

Tidak ada komentar: